Kyoko memetik gitar pelan ketika Nozomi menunduk, mencoba menahan gugup sebelum lagu pertama dimulai. Di sudut ruangan, Son—siswi pertukaran asal Korea—menatap mikrofon dengan napas tersengal, sementara Kei menepuk bahunya pelan, seolah berkata tanpa kata, “kita bisa.” Begitulah suasana dalam film Linda Linda Linda (2005), sederhana namun sarat makna.

Ada sesuatu yang indah dari semangat muda—kadang datang dalam bentuk lagu, kadang dalam ayunan. Seperti dalam film Linda Linda Linda (2005), di mana empat siswi SMA berjuang memainkan satu lagu sederhana untuk panggung sekolah mereka, kini semangat yang sama bergetar di Selangor, Malaysia. Bedanya, kali ini bukan gitar yang berbunyi, melainkan pukulan dari tiga pegolf muda Indonesia yang membawa irama mimpi mereka sendiri ke kancah internasional.
Film karya Nobuhiro Yamashita itu menjadi metafora tentang keberanian dan kebersamaan: Son, Kei, Nozomi, dan Kyoko belajar bahwa tampil bukan soal sempurna, tapi soal berani mencoba bersama. Nilai yang sama kini hidup dalam langkah Freya Julia Daviana Simarmata, Ni Putu Alida Brigitte Lie, dan Redlichlein Revieve Hanslkie, yang berlaga di Srixon 100 Plus International Junior Championship, 28–30 Oktober 2025, di Kota Permai Golf & Country Club, Selangor, Malaysia. Ketiganya mewakili wajah baru golf Indonesia—tenang namun berani, muda namun bermental juara.

Dalam satu dialog lembut di film itu, Son berkata, “Aku tidak tahu apakah suaraku cukup bagus, tapi aku ingin menyanyikan lagu ini bersama mereka.” Dan mungkin, tanpa mereka sadari, kalimat itu kini juga menjadi gema hati para pegolf muda Indonesia ini—berani tampil bukan karena yakin akan menang, tetapi karena ingin memainkan “lagu” terbaik mereka untuk Merah Putih.

“Selama kita tetap menjadi diri sendiri, sedikit dari kita akan selalu ada,” Linda Linda Linda The Movie
