Golf adalah olahraga yang istimewa. bukan hanya harus dibangun di atas lahan yang luas namun juga harus memenuhi banyak kriteria. Selain menjadi ajang berolahraga, golf juga identik dengan berbagai agenda para pemainnya, dari lobi bisnis hingga mencari hiburan.
Dari tempat ini pula banyak berita tersebar. Mulai dari kasus yang memalukan hingga kabar membanggakan. Bagi banyak kalangan golf juga ajang untuk mencari kesenangan, pun bagi mereka yang jeli, golf merupakan ladang untuk mencari nafkah dan keuntungan.
Era Golf Di Indonesia
Dalam perkembangannya golf di Indonesia terbagi dalam beberapa era. Era golf di Indonesia khususnya Jakarta ditandai dengan diresmikannya lapangan golf Rawamangun tahun 1932. Kini, lapangan tersebut lebih dikenal dengan nama Jakarta Golf Club. Para eksekutif dari Belanda, Inggris dan para pedagang yang singgah di Jakarta sering menghabiskan waktunya bermain di lapangan ini.
Era berikutnya adalah Orde Baru. Era ini ditandai dengan dibangunnya beberapa lapangan golf di beberapa lokasi di Jakarta seperti Klub Golf Senayan (KGS) tahun 1968, Matoa Nasional Golf Course serta beberapa lapangan golf di luar Jakarta. Lapangan golf sering disambangi para pejabat, konglomerat hingga ekspatriat, salah satunya adalah Presiden Soeharto yang ketika itu aktif bermain golf di Jakarta Golf Club, Rawamangun.
Berikutnya adalah era Milenium. Ditandai dengan dibangunnya beberapa lapangan golf modern hampir di seluruh kota besar di Indonesia. Pada era ini lapangan golf sudah tidak hanya di monopoli oleh kaum elitis namun juga dari masyarakat kelas menengah serta pebisnis. Beberapa lapangan golf yang mewakili era ini adalah Royale Jakarta Golf Club, Padivalley Golf Club, Makasar dan beberapa golf course lainnya.
Masa Keemasan Bisnis Peralatan Golf
Bicara tentang masa keemasan golf tak bisa dilepaskan dengan bisnis peralatan golf, dan masa subur ini tak bisa dilepaskan dari era Orde Baru. Waktu itu semua lapangan golf selalu penuh, mereka yang memenuhi lapangan golf diantaranya adalah para pejabat, pebisnis, selebritis dan wisatawan asing. Dengan berbagai tajuk, turnamen banyak digelar baik berskala lokal maupun nasional. Berkat tingginya animo masyarakat, permintaan akan peralatan golf juga mengalami peningkatan. Hal ini kemudian mengakibatkan tumbuhnya pedagang-pedagang peralatan golf di sekitar lapangan. Salah satunya adalah AB Golf yang dimiliki oleh Agus, toko pionir peralatan golf di kawasan Senayan. Berdiri sejak tahun 1979, Ia mengatakan bahwa meski harus membayar mahal untuk sewa tempat, lapangan golf selalu penuh. Bukan hanya di hari libur tapi juga hari kerja dan waktu itu belum ada toko golf di dalam lapangan golf, ungkapnya.
Permintaan akan peralatan golf yang berkualitas melonjak, baik baru maupun bekas. Peralatan golf dari Jepang banyak diburu oleh pegolf baru. Hal senada diungkapkan oleh Rawing, staf dari AB Golf Senayan “dulu, orang banyak mencari produk dari Jepang kalau tidak merek ini mereka tidak mau” tungkasnya. “Selain karena kualitasnya, prodak dari Jepang banyak dicari karena stik buatan mereka sangat cocok untuk postur orang Asia”, ungkap Rawing.
Demam golf masih terasa hingga tahun 90an dan masyarakat pecinta golf sudah semakin teredukasi tentang peralatan golf yang berkualitas. Tak heran jika tahun tersebut menjadi tahun keemasan bagi bisnis peralatan golf baru maupun bekas.
Bisnis peralatan golf kemudian tidak hanya menjamur di kawasan pusat kota, daerah pinggiran seperti Sawangan, Pondok Labu hingga Pondok Gede ikut merasakan keuntungan.
Awal 90an perputaran peralatan golf terutama yang bekas bisa dibilang sangat dinamis, begitu ada barang baru (bekas dengan kualitas sangat baik) para pedagang dari pingiran Jakarta siap menampung, peralatan golf dengan kondisi sangat bagus biasa kami dapat dari pejabat atau penguasaha yang ingin tukar tambah dengan stik baru, ujar Agus. Waktu itu sangat gampang untuk dapat keuntungan, sebulan kami bisa dapat 50 juta bersih, kenang putra pendiri AB Golf, Senayan.
Rumput Samping Lapangan Mulai Mengering
Setelah pensiun dari pekerjaannya, Sarmad memutuskan membuka toko peralatan golf. Dengan berbekal pengetahuan dan pengalaman menjadi kedi yang mau tidak mau harus mengerti seluk beluk segala macam peralatan golf, Sarmad membulatkan tekadnya untuk berdikari. Tahun 90an berdirilah Sarmad Golf tak jauh dari Jakarta Golf Club, Rawamangun, Jakarta. Menjadi salah satu toko perlatan golf second hand pionir di kawasan Rawamangun, toko ini ramai dikunjungi baik sesama ckedi, pegolf maupun makelar. Kini, waktu telah berganti. Di usia senjanya, Sarmad yang juga pernah mengajar golf di daerah Cilegon ini hanya bisa bertahan sambil menunggu pelanggan datang ke tokonya yang berukuran 3x4m. “Pelanggan saya kebanyakan para kedi dari Rawamangun yang disuruh para golfer untuk mencarikan atau mereparasi peralatan golf mereka” ungkap Sarmad yang kini hanya dapat meraup keuntungan bersih 2 hingga 3 juta sebulan.
Hal senada juga diungkapkan oleh Rawing, paska 2010 bisnis jual beli perlengkapan golf bekas perlahan mengalami penurunan yang sangat signifikan bahkan banyak toko yang gulung tikar. Rawing menambahkan bahwa dengan semakin banyaknya penjual yang hampir ada di tiap pinggir-pinggir lapangan golf membuat persaingan semakin berat. “Jika dahulu para penjual dari daerah pinggiran biasa datang ke tempat kami, sekarang mereka bisa mendapatkan dari mana saja bahkan beberapa pedagang tidak mau mengambil barang lagi karena stok mereka masih banyak yang belum terjual.”
Sementara itu, Jamal yang mewarisi toko dan pengalaman fitting club dari sang ayah yang telah berkecimpung di golf sejak tahun 1970an mengatakan bahwa penurunan bisnis peralatan golf terjadi ketika daya beli masyarakat mulai melemah dan banyak para pegolf yang masih setia menggunakan peralatan lama mereka. Selain itu, penurunan daya beli masyarakat diperparah dengan masuknya produk-produk palsu asal Tiongkok. Secara tidak langsung produk abal-abal ini memengaruhi citra dari toko-toko penyedia perlengkapan golf bekas. Pengaruh naiknya nilai tukar dolar Amerika terhadap rupiah dinilai juga berakibat enggannya masyarakat membeli peralatan golf, apalagi yang bekas. Di tokonya Irma Golf, yang berada tak jauh dari lapangan golf Pangkalan Jati, Jakarta Selatan, Jamal mengatakan bahwa persaingan dengan toko-toko besar sebenarnya merupakan hal yang wajar. Hal ini harusnya bisa menjadi momentum bagi para pedagang untuk meningkatkan pengetahuan mereka tentang dunia golf terutama peralatan. Memberikan masukan kepada konsumen, kenyamanan dan kepercayaan adalah kunci agar pelanggan tetap datang dan belanja, tutup Jamal.
Kini, ditengah sulitnya menjual peralatan golf bekas berbagai cara mereka tempuh untuk terus menghidupkan detak jantung, sebagai contoh, Jamal dan ketiga saudaranya telah merambah dunia internet untuk menjual barang dagangan mereka secara online, sedang Sarmad dan Agus telah menambah pelayanan mereka berupa reparasi serta semakin gencar melakukan promosi dan memperluas jaringan.
Dunia bisnis golf di tanah air ibarat lautan luas yang hanya bisa diprediksi dan diarungi, perjuangan mereka sebagai salah satu artefak sejarah golf di Indonesia patut mendapat apresiasi. Lalu, bagaimana kelanjutan bisnis jual-beli perlengkapan golf bekas di masa yang akan datang, kita tidak pernah tahu.