Masli Mulia

3 min read
Social Share

President Director

Bagaimana rasanya didorong paksa untuk main golf? Endang Atmadirja merasakan pengalaman itu hingga wajahnya pucat. Namun, keterpaksaan itu justru memberikan manfaat yang tidak sedikit bagi Direktur PT Technology & Engineering System ini. Melalui golf,  Endang yang merupakan staf ahli di Pengprov PBSI Jawa Barat mempelajari banyak hal, dari mulai memahami bagaimana nikmatnya bermain golf hingga bagaimana mencapai hasil bagus di golf. Berikut bincang-bincang lengkapnya dengan GolfMagz.

Bisa diceritakan pengalaman pertama main golf?
Saya mulai kenal golf tahun 2000. Saya sebelumnya tidak pernah membayangkan bermain golf. Sejak kecil saya memang menyukai banyak olahraga lapangan, seperti sepakbola, tenis meja, bulutangkis, tenis lapangan, basket, dan softball. Tetapi tidak ada yang serius saya tekuni. Golf mulai saya tekuni ketika terjun di swasta, ketika menjalani usaha sendiri.
Nah, satu ketika di Surabaya, ada klien saya yang rajin main golf pernah tanya, ‘Kamu pernah main golf?’ Saya jawab, ‘Tidak, Pak.’  ‘Golf itu olahraga apa?’ ‘Ya sudah nanti saya tunjukkan.’ Ia langsung mengajak saya ke lapangan golf. Waktu saya ingat kami datang ke Finna Golf Club. Club dan sepatu disediakan klien saya. Yang saya ingat, belum sampai clubhouse wajah saya pucat, karena tidak terbayang mainnya seperti apa.
Sampai di Finna, saya tertarik melihat hamparan rumput hijau. Rasanya segar sekali. Saya diajar memukul saat itu di lapangan. Saya hanya memukul saja, tanpa tahu hitungannya seperti apa, bunker dan green itu apa. Itulah pertama kali saya main golf, dengan bahu sakit, lengan pegal, karena mukulnya ke tanah terus.

masli-mulia2-resizeSetelah itu?
Mulailah saya belajar serius bagaimana bermain golf. Saya mulai berlatih di Driving Range Siliwangi Bandung. Tiga bulan berlatih di driving range, baru saya berani turun lapangan untuk menguji seberapa jauh kemampuan saya setelah berlatih. Saya pun sudah paham seluk beluk soal golf, termasuk rule dan etiket golfnya.

Rasanya berbeda dengan pengalaman pertama di Finna dong?
Ya, ada hasil meski skornya cukup besar dengan handicap besar. Namun, karena tidak maju-maju permainannya, saya akhirnya mencapai situasi bahwa saya tidak menikmati main golf. Apa sih nikmatnya? Yang saya nikmati hanya pemandangan dan udara yang segar. Saya akhirnya vakum, malas berlatih hingga setahun.  Stik saya Honma bintang 5 yang waktu itu dibeli pun menganggur.

Lalu, apa yang membuat Anda kembali lagi di golf?
Saya berbincang dengan beberapa teman. Lalu, saya mendapat masukan bahwa  kita harus paham equipment apa yang menjadi pegangan kita. Perlu ada kecocokan. Kita harus merasakan adanya feeling, menyatu feeling bagus dengan equipment kita. Ada harmonisasi dan sinkronisasi antara kita dengan equipment yang kita pakai. Keseimbangan diri. Hal-hal itulah yang membuat saya kembali ke driving range, dan saya mulai serius. Saya berlatih bersama teaching pro hingga saya merasakan enjoynya memukul bola. Di situ saya merasakan nikmatnya main golf.

Apa kesan Anda terhadap golf ini?
Golf itu olahraga yang dimainkan dengan pikiran santai, tidak ngotot, menyeimbangkan antara tubuh dan pikiran. Keseimbangan itu mampu mengeluarkan power ketika memukul bola. Inilah yang membuat saya serius belajar golf, dibantu dengan membaca literatur-literatur golf dan menonton tayangan-tayangan golf.

Berapa handicap terbaik Anda?
Saya pernah mencapai handicap 10, tetapi waktunya hanya sebentar.

Sejauh ini apa yang Anda pelajari mengenai golf ini?
Mencapai sesuatu dalam golf itu tidak mudah. Achievementnya sulit. Saya memahami mengapa para pegolf kita itu sulit meraih prestasi bagus ketika berkompetisi di event-event internasional. Saya merasakan sendiri. Memang sulit untuk mencapai itu. Butuh sesuatu yang namanya totalitas, bukan dari diri saya, melainkan juga lingkungan sekitarnya.

Anda kan merupakan staf ahli di Pengprov PBSI Jawa Barat. Sebagai pengurus olahraga dan juga pemain golf, persoalan apa yang membuat prestasi golf kita tidak berkembang lama?
Pertama, kita lihat dari soliditas pengurus. Kedua, sistem pembinaan yang didelegasikan ke daerah sebelum akhirnya masuk ke pelatnas. Ketiga, dukungan pemerintah terhadap golf kurang.

You May Also Like

More From Author